Sabtu, 08 Oktober 2011

KAIFA NATA’AMAL MA ‘A DUNYA (BAGAIMANA KITA BERSIKAP TERHADAP DUNIA)?


Ikhwah Fillah…
Hadist berikut ini berupa arahan Nabi untuk  kita dalam meniti perjalanan hidup yang lika-liku, dan dipenuhi dengan onggak, batu, duri serta ditaburi dengan gemerlapnya dunia.
Dari Ibnu Umar ra, berkata “ Rasulullah memegang pundakku dan berkata: Jadilah engkau di Dunia ini seperti orang asing bahkan jadilah seperti seorang Musafir” (HR.Bukhari)
Hadits ini menerangkan kepada orang-orang beriman bagaimana seharusnya ia berinteraksi dengan dunia, ini merupakan arahan dari Rasul saw kepada Ibnu Umar dan kepada kita semua tentunya, yaitu hendaknya kita dalam menjalani kehidupan di dunia ini seperti seorang musafir, bukan saja seperti orang asing, karena bisa jadi orang asing  (pendatang) lebih betah dari pada penduduk asli, maka Rasul saw mempertegas hal tersebut dengan menyebutkan “ Bahkan jadilah seperti seorang musafir” Apa maksud dari hadist tersebut?
Ikhwah Fillah…
Maksud hadist tersebut, itu bisa dijelaskan dengan terlebih dahulu kita fahami apa itu makna musafir, dan apa saja yang dilakukan seorang musafir.
Musafir adalah orang yang melakukan perjalanan dari satu tempat ketempat lain, ada beberapa hal yang biasa dilakukan oleh seorang musafir.
1.       Seorang musafir pada umumnya jauh dari keluarga dan saudaranya, karenanya dia tidak akan ketergantungan dengan orang  lain, seorang musafir akan menyandarkan dan menggantungkan hidupnya hanya kepada Allah swt, berbeda dengan orang yang tinggal di kampungnya sendiri, biasanya hidup bersama dengan keluarga atau saudaranya, dan pada umumnya hidupnya selalu tergantung pada orang lain yaitu keluarga dan saudaranya. Jadi yang dimaksud hadist tersebut jadilah engkau seperti seorang musafir yaitu Agar kondisi hati kita selalu tergantung dan berharap hanya kepada Allah swt, tidak kepada yang lain. Bahkan memohon dan bergantung pada selain Allah yang disertai ketundukan termasuk dalam perbuatan Syirik (mensekutukan Allah)
2.       Seorang musafir dalam perjalanannya tidak membawa seluruh hartanya, kecuali yang ia perlukan dalam perjalanannya, dia tidak membawa perabotan rumahnya ,dia tidak membawa alat-alat tempat tidur dan perabot dapurnya. Bahkan ia tidak membawa seluruh pakaian dan bukunya. Karena apabila ia bawa itu semua akan menyebabkan ia tidak bisa melanjutkan perjalannya, atau paling tidak akan menghambat perjalannya. Begitu pula harusnya yang kita lakukan, hanya mengambil di dunia ini apa-apa yang bisa membantu kita dalam mencapai tujuan hidup kita, yaitu meraih ridho Allah SWT, dan harus meninggalkan hal-hal yang dapat menghambat keridhoan Allah.
3.       Seorang musafir tidak menjadikan jalan sebagai tujuan, akan tetapi sebagai sarana yang digunakan untuk mencapai tujuannya kesuatu tempat. Begitu pula kita seharusnya dalam berinteraksi dengan dunia, menjadikan dunia sebagai sebuah sarana untuk mencapai tujuan perjalanan kita yaitu bertemu dengan Allah SWT. Jangan menjadikan dunia sebagai tujuan, karena dunia bukan tempat akhir perjalan kita, cepat atau lambat dunia akan kita tinggalkan.
4.       Seorang musafir merasakan setiap langkah yang diayunkan dan setiap menit yang dilewatkan, telah menjauhkan dirinya dari titik awal ia berangkat  dan akan semakin mendekatkan dirinya ke titik akhir perjalanannya. Misalkan ia pergi dengan menggunakan kendaraan, dia merasakan telah melewati jarak sekian kilometer sehingga sisa perjalanannya tinggal  sekian kilometer lagi. Begitupula seharusnya yang kita rasakan, semakin bertambah usia, pada hakekatnya semakin berkurang sisa umur kita,  dan semakin mendekati titik akhir perjalanan hidup yaitu kematian. Maka kita harus selalu dalam kondisi siap apabila perjalanan hidup kita berakhir sampai disini. Inilah makna perkataan Ibnu Umar ra setelah dia menerima hadits tersebut “ Apabila kamu berada dipagi hari janganlah menunggu sampai sore hari, apabila kamu berada di sore hari janganlah menunggu sampai pagi hari, dan gunakanlah kesehatan mu untuk mempersiapkan menghadapi masa sakitmu dan gunakanlah kehidupanmu sebelum datangnya kematianmu”.
Dan dalam sebuah hadits Rasul saw pun menegaskan  “Gunakanlah yang lima sebelum datang yang lima lainnya, masa hidupmu sebelum datang matimu, masa sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, masa kayamu sebelum datang masa miskinmu, waktu luangmu sebelum datang waktu sibukmu,”
5.       Seorang Musafir ketika menempuh perjalanannya ia harus berhenti diterminal-terminal yang disitu ia mengisi perbekalannya, baik makanan maupun bahan bakar kendaraannya, kalau hal itu ia tidak lakukan maka ia tidak bisa melanjutkan perjalanannya. Begitu pula kita, harus selalu memenuhi diri dengan perbekalan agar kita dapat menempuh perjalanan ini sampai ketujuan. Dan perbekalan itu adalah Taqwa, Firman Allah “Berbekalanlah, sesungguhnya sebaik-baiknya bekal adalah Taqwa....” (QS: 2; 197).  Dan bekal itu bisa kita dapatkan dalam Majelis ilmu, dzikir, dan segala amal ibadah sebagai bentuk ketaatan kita pada Allah, juga setiap usaha untuk menjauhkan atas semua larangan Allah. Tabiat perjalanan seorang manusia tak ubahnya seperti perjalanan seorang musafir yang tidak akan pernah sepi dari problematika, misalnya berupa cuaca yang kurang bersahabat, atau kendaraan yang rusak atau tubuh yang keletihan bahkan mungkin sakit. Begitu pula orang beriman, di dunia ini pasti akan menghadapi berbagai macam ujian dan problema, terlebih orang yang berjalan menuju keridhoan Allah swt. Rasulullah dalam sebuah hadits mengungkapkan “ Jalan menuju ke neraka akan dihiasi dengan syahwat (Kenikmatan yang menipu) sebaliknya jalan menuju ke syurga akan dihiasi dengan Makarih (Hal-hal yang tidak menyenangkan). (HR.Bukhari).
Demikian Ikhwah Fillah… Semoga Allah senantiasa membimbing kita dalam meniti jalan kehidupan ini, agar kita tetap dalam koridor jalan yang lurus, dan segala onggak, batu, duri atau rintangan yang lainnya, tidak membuat kita tergelincir dalam jurang kehancuran, Problem dan ujian seberat apapun bila kita hadapi dengan tetap istiqomah dijalan Allah dan mengharap petunjuk serta bantuan Nya, Insya Allah semua akan ada jalan keluarnya. Allah berfirman “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (QS: 94 ; 6 )
Tetap semangat dalam meraih Mardhotillah…

Rabu, 05 Oktober 2011

MENGENDALIKAN LINTASAN PIKIRAN


Ikhwahfillah..
Kali ini, mari kita telusuri butir-butir nasihat yang dituangkan begitu indah oleh Imam Ibnul Qayyim Al Jauzi rahimahullah . Salah satunya, tentang asal usul perbuatan seseorang yang berpangkal pada khatirah (lintasan pikiran). Semua prilaku manusia, menurutnya, selalu berasal dari lintasan pikiran, yang pada akhirnya mengantarkan seseorang pada tahapan amal atau praktik.
Bicara tentang lintasan pikiran menjadi sangat penting, karena tak satupun manusia yang bisa terlepas dari lintasan pikiran. Ia muncul begitu saja, dan menjadi salah satu fitrah manusia pemilik panca indera. Kita, tidak mungkin berada dalam situasi tak  memiliki lintasan pikiran. Lintasan pikiran itu tersembunyi. Lebih tersembunyi dari sikap hasad, dengki, dan semacamnya. Ia ada dalam alam pikiran dan berwujud lintasan-lintasan belaka, akan tetapi  Allah swt Maha Mengetahui atas apa yang ada dalam pikiran kita.

Ibnul Qayyim membagi tiga kategori lintasan pikiran; khatirah rahmaniyah, syaithaniyah dan nafsaniyah. Khatirah rahmaniyah adalah seluruh lintasan pikiran yang berisi kebaikan dan hal-hal utama. Seperti menuntut ilmu, amar ma ’ruf dan nahi mungkar, shadaqah dan lainnya. Khatirah syaithaniyah adalah lintasan pikiran syaitan yang isinya selalu kekejian dan kemungkaran belaka. Sedangkan nafsaniyah, adalah lintasan pikiran yang terjadi saat seseorang bermimpi.

Perhatikanlah ungkapan Ibnul Qayyim, “Lintasan-lintasan itu memang kompleks karena dia berada dalam ruang kebaikan atau keburukan. Dari lintasan pikiran (khatirah) itu lahir keinginan (iradah), lalu himmah (kecenderungan), dan azimah (tekad). Orang yang sejak awal mampu mengendalikan lintasan pikirannya, berarti ia mampu mengendalikan jiwa dan menundukkan hawa nafsunya. Tapi orang yang dikendalikan oleh lintasan pikirannya, berarti jiwa dan nafsunya yang lebih kuat. Siapapun yang menganggap enteng lintasan pikiran, niscaya lintasan pikiran itu akan menyeretnya pada kehancuran...”

Dalam kitab yang lain, Ibnul Qayyim mengatakan, “Buanglah lintasan pikiran syaithaniyah. Jika tidak engkau buang, ia akan menjadi fikrah. Buanglah fikrah itu. Jika tidak engkau buang,ia menjadi himmah. Buanglah himmah itu, jika tidak engkau buang ia akan menjadi amal prilaku. Buanglah prilaku itu, jika engkau tidak melakukannya ia akan menjadi kebiasaan.”
Ikhwahfillah…
Seperti itulah asal muasal perilaku jahat, ia  bermula pada lintasan pikiran. Bersyukurlah kepada Allah swt atas kekuatan bashirah yang diberikan kepada Ibnul Qayyim. Karena Ibnul Qayyim bukan hanya menyampaikan hal penting dan mendesaknya kita mengetahui tahapan-tahapan itu, tapi ia pun lalu mengajarkan pada kita cara untuk menghempas lintasan pikiran negatif itu,
Ada 3 langkah untuk menghilangkan pikiran negatif. “
Pertama, kosongkan hati dari lintasan pikiran buruk dengan tidak mendekati sesuatu yang dapat memancingnya.
Kedua, jika hati telah kosong dari keburukan itu, hati harus diisi dengan kesibukkan akan ketaatan dan kecintaan pada Allah.”
Cara mengisi hati dan menyibukkan diri di sini ada lima cara. Pertama, pikirkan ayat-ayat Allah berupa Al Quran dan pahami maksud tujuannya. Kedua, berpikirlah tentang ayat-ayatnya yang terlihat dan ambillah pelajaran darinya dikaitkan dengan nama dan sifat-Nya. Ketiga, berpikirlah tentang ketinggian, kebaikan, kemurahan Allah kepada makhluk-Nya meliputi seluruh nikmat, kasih sayang dan ampunan-Nya yang sangat luas. Keempat, berpikirlah tentang kekurangan dan aib diri sendiri, serta atas kekurangan kita dalam beramal. Kelima, berpikirlah tentang kewajiban kita  terkait urusan dunia maupun agama.
ketiga, adalah dengan menjaga lintasan hati dari yang haram dan yang keliru. Ini dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, mengetahui sumber-sumber yang dapat memancing yang haram dan tempat-tempat yang sensitif menyeret pada yang kesalahan. Kedua, membandingkan dan menimbang serta mengetahui akibat yang muncul dari kekeliruan yang ada dalam lintasan pikiran, ini, adalah pekerjaan akal. Ibnul Qayyim lalu ,mengajak kita membandingkan antara dua keadaan. Katanya, “Bandingkan antara kelezatan mendekatkan diri kepada Allah dengan mendekatkan pada kekotoran. Bandingkan antara kelezatan dosa dengan kelezatan hati yang memelihara diri dari dosa.
Ikhwahfillah semoga Allah membimbing kita semua agar selalu ada dalam Ridho Nya (Mardhotillah)

Senin, 03 Oktober 2011

AGAR KESALAHAN DAPAT MEMBUKA PINTU KEBAIKAN


Saudaraku,
Siapa di antara kita yang kuat menahan malu, andai kita tahu daftar kesalahan, kedurhakaan, kemaksiatan, dan pelanggaran yang kita lakukan? Siapa di antara kita yang mampu menahan rasa hina yang tiada tara, jika saja kita mengetahui catatan perilaku buruk dan dosa yang telah kita lakukan? Hidup yang sudah kita lalui singkat, sampai seusia ini, siapa yang kuat menahan penyesalan akibat keburukan dan dosa yang kerap kita lakukan berulang-ulang?

Mari perbanyak istighfar dan permohonan ampun pada Allah swt. Rasulullah menggambarkan, sebuah dosa seperti noda hitam di dalam hati. Kian banyak noda hitam itu, maka hati menjadi hitam legam, kelam. Sinarnya bukan hanya redup, tapi gelap. Cahayanya tertutup oleh titik-titik noda yang menjadikannya tak mampu lagi memandang dan menimbang mana yang benar dan mana yang salah.
“Bila seseorang melepaskan diri dari dosa, beristighfar dan bertaubat, hatinya akan cemerlang seperti semula. Dan bila ia mengulangi perbuatan dosa maka noda hitam itu akan bertambah hingga meliputi hatinya. Allah swt berfirman, “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (HR. Turmudzi).

Mirip dengan hadits dan firman Allah tadi, Hasan Al Bashri menyebutkan bahwa ketaatan itu identik dengan cahaya batin dan kekuatan fisik. “Kebaikan itu memberi cahaya dalam hati, melahirkan kekuatan bagi tubuh. Sementara keburukan akan menggelapkan hati dan melemahkan tubuh, serta mempengaruhi terhadap rezeki,” ujar Hasan Al Bashri. Ia kemudian mengutip sebuah sabda Rasulullah saw, “Seseorang dihalangi rezekinya karena dosa yang ia lakukan.” (HR. Ibnu Majah).

Saudaraku, kemaksiatan bukan akhir dari segalanya. Melakukan dosa tak berarti membuat pelakunya jatuh dan tak mampu bangkit kembali. Inti pesan yang ingin disampaikan dalam hadits dan perkataan Hasan Al Bashri tadi adalah , ajakan untuk mengulang-ulang dan memperbaharui taubat. Imam Ibnul Qayyim pernah menguraikan panjang, betapa kesalahan dan dosa yuang diperbuat oleh Nabiyullah Adam as hingga ia diturunkan dari surga ke bumi, ternyata membuka banyak hikmah dan karunia Allah kepada Adam dan keturunannya. Dalam kitab Al Fawaid, Ibnul Qayyim menulis bahwa syaitan yang dengki gembira dengan jatuhnya Adam dan Hawa ke lembah dosa dan terpeleset dari surga. Tapi sesunggguhnya keluarnya Adam dan Hawa dari surga menyebabkan ia melahirkan banyak karunia Allah kepada manusia karena kemudian lahir anak cucu yang kelak menjadi khalifah di muka bumi. Bahkan ada hadits Rasulullah yang menyebutkan, “Dan demi dzat yang di diriku ada  dalam kekuasaan-Nya, jika kalian tak melakukan dosa, niscaya Allah akan melenyapkan kalian lalu akan mendatangkan kaum lain yang akan berdosa, kemudian mereka bertaubat dan Allah menerima taubat mereka.” (HR. Muslim)
Ibnul Qayyim setelah itu, memberi komentar sangat indah bahwa ketika Adam dikeluarkan dari surga karena kesalahannya, tidak berarti Allah tidak memperdulikannya. Allah tetap memelihara keturunan Adam dan anak cucunya. Karena selanjutnya Allah pun tetap menjadikan surga untuk Adam dan anak cucunya yang beriman dan taat kepada Allah swt, selama-lamanya. Jadi, dikeluarkannya Adam dari surga seolah hanya sementara waktu untuk menyempurnakan bangunan surga itu sendiri. Sama seperti manusia yang ingin melakukan renovasi tempat tinggal lalu ia harus keluar dari rumah itu sementara dan kembali lagi. Tulis Ibnul Qayyim rahimahullah.
Ibnul Qayyim juga menggaris bawahi bahwa meski dengan segala keutamaan yang Allah berikan kepada Adam, tapi Adam tetap menyadari dan kembali kepada Allah, memohon ampun terhadap kemaksiatan yang dilakukannya. Karena itulah, Nabiyullah Adam as, yang disebutkan dalam Al Qur’an berbunyi, “Robbana Zholamna anfusana wa illamtaghfirlana watarhamna lana kunanna minal khoshirin" (Ya Rabb kami, kami telah mendzalimi diri kami sendiri dan jika Engkau tidak memberi ampun kepada diri kami niscaya kami menjadi orang-orang yang merugi). Kesalahan telah membuat Adam merasakan kedekatan dan ketergantungan luar biasa kepada Allah swt.

Demikianlah. Kemaksiatan dan dosa, ternyata bisa saja menjadi pintu kebaikan bagi pelakunya. Syaratnya hanya satu, yakni perbaharui taubat. 
Pintu kebaikan akan datang dengan meninggalkan kemaksiatan,  menyesali dosa, memperbaharui taubat, dan tidak  membiarkan diri hanyut dalam nikmatnya ayunan kesalahan. Ingat saudaraku, jika kita ikhlas, Allah pasti akan menggantikan kenikmatan dosa yang kita tinggalkan dengan kenikmatan yang lebih indah di dunia, terlebih di akhirat. Dengarkanlah perkataan yang diucapkan  Ibnu Sirin, seorang tokoh ulama di zaman Tabi’in yang terkenal memiliki kepekaan spiritual di zamannya. Ia mengatakan, “Tidak ada seorang pun yang meninggalkan suatu keburukan yang ia rasakan nikmat, hanya karena Allah, kecuali ia pasti akan menemukan gantinya dari Allah swt…”
 Atau perhatikanlah sabda Rasulullah saw,  “Barang siapa yang memalingkan pandangan dari sesuatu yang haram, maka Allah akan berikan satu titik cahaya dalam hatinya…”
 Semoga Allah menerima Taubat kita dan membimbing kita menjadi orang yang istiqomah dalam kebaikan. Amiiin...

Minggu, 02 Oktober 2011

DO'A SENJATA PALING AMPUH


Tahukah kita seberapa besar kekuatan do’a di saat-saat genting? Disaat para pejuang Allah SWT menghadapi kekuatan musuhnya. Kegentingan yang pernah dialami  oleh hampir  para Rasul Allah, tak ter kecuali Rasulullah Muhammad SAW.
Bagaimana gentingan yang  dialami Nabiyullah Musa as saat ia dan kaumnya dikejar Fir’aun dan bala tentaranya, sampai terpojok di tepi laut. Perhatikanlah bagaimana kegentingan ini digambarkan oleh Al-Qur’anul  Karim. “Maka, ketika kedua kelompok itu saling melihat, berkatalah  pengikut Musa , “Sungguh kita akan benar-benar tersusul.”  Musa menjawab, “Sekali-kali tidak, sesungguhnya Tuhanku menyertaiku. Dia akan memberi petujuk kepadaku.” (QS.Asy Syu ’ara:62). Nabi Musa as memiliki keyakinan yang kuat atas pertolongan Allah SWT, Ia yakin Allah pasti membelanya,  tak ada yang memiliki kekuatan kecuali Allah SWT. Begitulah akhirnya Musa AS diselamatkan oleh Allah SWT.
 Mari kita lihat lagi jejak para pejuang di jalan Allah swt yang ada dalam lembar-lembar sejarah. Kita ingin mengetahui dan turut merasakan bagaimana do'a  menjadi senjata paling ampuh hingga kemenangan berhasil diraih. 
 Di malam senyap dan gelap. Malam peperangan Badar Kubro. Para sahabat radhiallahuanhum tertidur. Kecuali Rasulullah saw sedang terjaga dan shalat di samping sebuah pohon. Ia berulangkali sujud dengan mengatakan, “Yaa hayyu yaa Qayyuuum... (Wahai Yang Maha Hidup dan Maha Berdiri) Rasulullah saw terus menerus mengulang-ulang ucapan itu, agar Allah swt mendatangkan kemenangan pada kaum Muslimin. (Al Bidayah wa An Nihayah , 5/82). 
Ketika melihat pasukan Quraisy,  saat yang genting ia mengatakan, “Ya Allah inilah Quraisy telah datang dengan kesombongan dan kepongahannya. Mereka mendustai Rasul-Mu. Ya Allah timpakanlah bencana kepada mereka esok. (Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam, 3/168)
 Umar bin Khattab meriwayatkan, detik-detik pecahnya pertempuran di Badar, Rasulullah saw memandang para sahabatnya yang berjumlah tiga ratusan orang. Lalu ia melihat barisan kaum Musyirikin yang jumlahnya lebih dari 1000 orang. Utusan Allah swt itu bersabda, “Ya Allah, berikanlah kepadaku apa yang Engkau janjikan kepadaku. Ya Allah, jika Engkau musnahkan kelompok Islam ini, Engkau tidak lagi disembah di muka bumi selamanya.”  Kata Umar,, Rasulullah saw terus menerus berdoa sampai selendangnya terjatuh dari pundaknya. Abu Bakar ra yang memungutnya mengatakan, “Wahai Nabi Allah, cukup sudah do ’amu kepada Allah swt. Dia pasti memberimu apa yang dijanjikan kepadamu...” (HR.Ahmad)
Pernahkah kita mendengar kisah Nu ’man bin Maqran? Seorang pejuang Islam yang memimpin peperangan melawan Persia. Ketika itu, pasukan Islam telah berminggu-minggu mengepung benteng Persia yang kokoh karena pertahanannya melewati parit parit. Nu'man berdiskusi dengan komandan perangnya. Mereka merumuskan strategi untuk memancing pasukan Persia keluar dari parit-parit mereka. Caranya, pasukan Islam berpura-pura lari meninggalkan medan tempur sampai jika orang-orang Persia keluar dari parit, barulah pasukan Islam berbalik menyerang mereka. Nu’man sepakat dengan strategi ini. Ia mengatakan kepada rekan-rekannya, “Nanti akulah yang akan meneriakkan takbir tiga kali. Jika kalian mendengar teriakan takbir ketiga, berarti saat itulah kalian mulai peperangan.” Setelah itu, Nu’man pergi ke salah satu tempat dan berdo ’a kepada Allah swt dengan mengatakan, “Ya Allah, muliakanlah agamamu, menangkanlah hamba-Mu. Ya Allah aku memohon kepada-Mu agar mataku sejuk dengan kemenangan yang menjadikan Islam mulia, dan matikanlah aku dalam keadaan syahid.” Orang-orang yang mendengar do'a Nu’man menangis. Mereka sama-sama larut dalam munajat dan do’a dengan penuh khusyu ’ dan tunduk. Allah swt mengabulkan do’a mereka. Kaum Muslimin diberikan kemenangan oleh Allah swt dengan kemenangan yang luar biasa. Allah swt juga mengabulkan do ’a Nu ’man bin Maqran karena dialah prajurit pertama yang syahid di medan perang ketika itu. (Al Bidayah wa An Nihayah, 7/89) Seorang sahabat ada yang bernama Qutaibah bin Muslim dan Muhammad bin Wasi ’. Ibnul Jauzi dalam Shifatu Shafwah menceritakan pengalaman keduanya menjelang peperangan meletus. Tiba-tiba Muhammad bin Wasi’ menghilang dari barisan. Qutaibah lalu memerintahkan pasukannya melihat siapa yang ada di dalam masjid. Pasukannya mengatakan, “Tak ada seorangpun kecuali Muhammad bin Wasi’. Ia sedang mengangkat jari-jarinya.” Qutaibah mengatakan,, “Jari-jarinya yang terangkat itu lebih aku sukai daripada tiga puluh ribu pemuda yang kuat dengan pedang terhunus.”
Perhatikanlah saudaraku.....
Bagaimana kedudukan dan kekuatan do ’a dalam pandangan para salafushalih. Lihatlah lagi saudaraku, bagaimana Shalahuddin Al Ayyubi, tokoh pahlawan pembebas Al Quds dari tangan pasukan salib. Dikisahkan, “Shalahuddin, ketika mendengar pasukan salib berhasil mendesak kaum Muslimin, ia tersungkur sujud kepada Allah swt sambil berdo ’a, “Ya Allah aku telah terputus dari sebab-sebab bumi untuk memenangkan agama-Mu. Tak ada yang tersisa kecuali menyerahkan semuanya kepada-Mu, sambil tetap berpegang pada ajaran-Mu dan bersandar pada karunia-Mu. Engkaulah Penolongku dan sebaik-baik Pelindung.” Dalam sujudnya itu ia menangis dan air matanya masih menitik di antara janggut hingga membasahi sajadahnya. Dan ketika itulah Allah swt menurunkan kemenangan pasukan Islam atas pasukan salib

Sabtu, 01 Oktober 2011

YA ALLAH SEMPURNAKAN LAH UNTUK KAMI, CAHAYA KAMI

Saudaraku...
Betapa pentingnya cahaya dalam kegelapan. Betapa berharganya secercah cahaya di tengah gulita
Di hari akhir yang gelap gulita nanti, hanya orang-orang beriman yang memiliki cahaya. Yang dengan sinar cahayanya itu, mereka sangat tertolong untuk meniti perjalanan melintasi ash shiraat (jembatan). Itulah salah satu cahaya dari dua cahaya yang disebutkan Sayyid Quthb dalam kitab Fii Dzilaali Al Qur’an. Ia menyebutkan dua kategori cahaya, pertama adalah nuur hissy atau cahaya materil berupa cahaya Allah swt yang menyinari semua alam semesta. Tanpa nuur Allah, maka alam semesta ini gelap gulita dan tidak ada yang dapat terlihat. Kedua adalah nuur ma’nawi atau cahaya immateril. “Ia adalah cahaya yang terbit dari hati orang beriman dari Al Qur’an dan sunnah Rasulullah saw yang menyinari hati, pendengaran, dan penglihatan hamba Allah yang beriman. Lalu cahaya itu juga akan menjadi penerang seorang hamba di dunia dan di akhirat. (Fii Dzilaali Al Qur’an, Sayyid Quthb, 6/3485).
 Cahaya itulah yang disinggung oleh Allah swt dalam firmannya surat Al Hadiid ayat 12. “Yaitu pada hari ketika kalian melihat orang mukmin laki-laki dan perempuan, sedangkan cahaya mereka bersinar di hadapan dan di sebelah kanan mereka. (Dikatakan kepada mereka): “Pada hari ini ada berita gembira untukmu, (yaitu) surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai yang kamu kekal di dalamnya. Itulah keberuntungan yang besar.”
 Betapa beharganya secuil cahaya yang diperoleh di gelapnya kiamat. Saat sinar cahaya berkilauan dan menerangi jalan orang-orang beriman, sementara di sekeliling mereka hanya kegelapan di atas kegelapan. Betapa besar rasa syukur orang-orang yang mendapatkan cahaya dan mendengar berita gembira dari Allah swt, tentang kenikmatan surga yang tak pernah  tergambarkan.
Saudaraku..
Inilah informasi tentang kondisi orang-orang yang beriman di hari kiamat. Bahwa amal-amal merekalah yang menyebabkan mereka memiliki cahaya, yang memandu mereka berjalan di tengah gelap hari itu. Dalam sebuah atsar, Abdullah bin Mas’ud ra pernah mengatakan, “Sebatas amal-amal yang mereka lakukan, mereka melewati ash shiraat (jembatan). Di antara mereka ada yang sinarnya serupa gunung dan ada pula sinarnya yang serupa lebah. Ada yang sinarnya serupa orang yang berdiri. Ada yang sinarnya sangat rendah, yakni hanya pada jemarinya saja, terkadang mati dan menyala.”
 Perhatikanlah bunyi firman Allah swt yang menceritakan situasi tersebut. “Pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang beriman yang bersama dengannya, sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan, “Ya Tuhan kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu…” (QS. At Tahrim: 8).
Saudaraku. Orang-orang munafiq, cahaya yang mereka miliki mati saat mereka berada di ash shiraat. Berkata Abdul Qashim Ath Thabrani,  dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah saw bersabda, “… Ketika sampai di ash shiraat, Allah memberikan setiap orang mukmin cahaya dan setiap orang munafiq cahaya. Tapi ketika mereka berada di tengah-tengah ash shiraat, Allah mematikan cahaya orang-orang munafiq laki-laki dan perempuan. Sehingga mereka mengatakan pada orang-orang mukmin, ‘Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebagian cahaya darimu.’ Lalu orang-orang beriman mengatakan, ‘Kembalilah kamu kebelakang dan carilah sendiri cahaya (untukmu).’ Lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu. Di sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya ada siksa.” (Lihat Surat Al Hadiid ayat 13).
 Tergambarkah dalam benak kita betapa kesedihan dan hancurnya orang-orang yang tak mendapatkan cahaya ketika itu?  Bagaimana dahsyatnya rasa takut dan kengerian menerpa bagi orang-orang yang cahayanya dimatikan oleh Allah di tengah gelap gulitanya ash shiraat itu.
Saudaraku..
Cahaya orang mukmin adalah salah satu di antara cara atau tanda bagi Rasulullah saw untuk mengenal umatnya. Berkata Ibnu Abi Hatim, “Semoga Allah merahmati Abdurrahman bin Jabbir. Dia mendengar Abu Darda dan Abu Dzar memberitakan dari Rasulullah saw: ‘Aku orang pertama yang diizinkan untuk bersujud di hari kiamat. Dan orang yang pertama mengangkat kepalanya. Lalu aku melihat siapa yang ada di hadapanku, yang di belakangku, yang di sisi kananku, dan yang berada di sisi kiriku. Aku mengenal umatku di antara sekian banyak umat manusia.’ Berkatalah seorang sahabat, ‘Ya Rasulullah, bagaimana engkau mengenal umatmu di antara sekian banyak manusia dari zaman Nabi Nuh hingga umatmu?’ Rasul mengatakan, ‘Aku mengenal mereka bersinar karena bekas air wudhu, dan hal itu tidak dialami seorangpun selain mereka. Aku juga mengenal mereka karena mereka menerima kitab mereka dari tangan kanan mereka. Aku mengenal mereka dengan tanda-tanda sujud di wajah mereka. Aku mengenal mereka dengan cahaya mereka yang ada di hadapan mereka.” (HR. Ahmad)
 Wahai saudaraku...
Mari tengadahkan tangan dan  berdo’a. “Allahumma atmim lanaa nuurona..”  Ya Allah sempurnakanlah untuk kami cahaya kami…. Amiin Ya Robbal’alamin.

Jumat, 30 September 2011

IKHLAS

Rasulullah menatap satu persatu para sahabat yang sedang berkumpul dalam suatu majelis, hening dan tawadlu. "Ya Rasulullah", ujar salah seorang hadirin memecahkan keheningan. " Bila pertanyaanku ini tidak menimbulkan kemarahan bagi Allah, sudilah engkau untuk menjawabnya". "Apa yang hendak engkau tanyakan itu", tanya Rasulullah dengan nada suara yang begitu lembut. Dengan sikap yang agak tegang si sahabat itupun langsung bertanya: "Siapakah diantara kami yang akan menjadi Ahli Surga?"
Tiba-tiba, bagai petir menyambar, jiwa-jiwa yang tadinya tawadlu, nyaris menjadi luka karena murka. Pertanyaan yang sungguh keterlaluan, sebagian sahabat menilainya mengandung ujub (bangga atas diri sendiri) atau riya'. Adalah Ummar bin Khattab yang sudah terlebih dahulu bereaksi, bangkit untuk menghardik si penanya tersebut. Untunglah Rasulullah menoleh ke arahnya sambil memberi isyarat untuk menahan diri.
Rasulullah menatap ramah, dan dengan tenangnya menjawab:"engkau lihatlah ke arah pintu, sebentar lagi orangnya akan muncul".
Lalu setiap pasang matapun menoleh ke ambang pintu, dan setiap hati bertanya-tanya, siapakah gerangan orang yang disebut Rasulullah sebagai Ahli Surga itu. Sesaat berlalu dan orang yang mereka tunggupun muncul.
Takala orang itu mengucapkan salam kemudian bergabung ke dalam majelis, keheranan para sahabat semakin bertambah. Jawaban Rasulullah rasanya tidak sesuai dengan logika mereka. Sosok orang tersebut, tidaklah lebih dari seorang pemuda sederhana yang tidak pernah tampil di permukaan. Ia adalah sepenggal wajah yang tidak pernah mengangkat kepala bila tidak ditanya dan tidak pernah membuka suara bila tidak diminta. Ia bukan pula termasuk dalam daftar sahabat dekat Rasulullah. Apa kehebatan pemuda ini? Setiap hati menunggu penjelasan Rasulullah.
Menghadapi kebisuan ini, Rasulullah bersabda: "Setiap gerak-gerik dan langkah perbuatannya "IKHLAS" hanya semata-mata mengharapkan ridla Allah SWT. Itulah yang membuat Allah menyukainya".
Bagai sembilu, menusuk tajam dada mereka, serentak setiap hati para sahabat bermuhasabah. "IKHLAS", alangkah indahnya ma'na yang terkandung di dalamnya. Ikhlas membersihkan dari segala maksud-maksud pribadi, bersih dari segala pamrih dan riya', bersih dari harap dan kecewa, bebas dari segala simbol-simbol pribadi atau kelompok, bebas dari pada perhitungan untung dan rugi secara material. Ikhlas, bersih dari segala hal yang tidak disukai Allah.
Ikhlas dalam menjadikan Allah sebagai Pencipta, Pemilik, Pemelihara, dan Penguasa Alam Semesta, ikhlas dalam menjadikan Allah satu-satunya Dzat yang disembah, ditakuti, dan dicintai. Ikhlas menerima Muhammad SAW sebagai teladan, panutan, penyampai risalah Islam yang sempurna, dan ikhlas menerima Al-Qur'an sebagai pedoman hidup.
Semua hati kembali tawadlu, membisu, sebagian berkaca-kaca, air mata mengembang, menelusuri niat dalam hati, khawatir adanya bisikan yang mengendap dan menutupi hati dari keikhlasan.

Ikhlas adalah salah satu tiang akhlaq islami, tanpa Ikhlas maka amal akan lenyap, bagai buih membentur karang, setiap amal perbuatan yang tidak didasari dengan keikhlasan maka akan sia-sia, tidak ada nilainya disisi Allah.
Inilah kualitas paripurna kemurnian hati, hanya pada Allah SWT kita serahkan hidup dan mati kita. Allah berfirman, Katakanlah: Sesungguhnya Sholatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. (QS: Al-An’am ; 162). Wallahu a'lam bisshowab.

Senin, 26 September 2011

KOMITMEN DALAM DA'WAH


Saudaraku.... 
Perjalanan ini memang panjang dan melelahkan. Terkadang, mungkin kita terengah-engah kehabisan nafas untuk terus menapakkan kaki hingga sampai ke tujuan. Terkadang, mungkin kita terseok-seok merasa tak kuat dan hampir tertinggal oleh derap serta gerak para kafilah da'wah itu. Terkadang, mungkin kita tersandung dan terjatuh oleh aral dan kesulitan perjalanan.

Saudaraku yang dirahmati Allah,
Tak satupun di antara kita yang tak pernah mengalami suasana perasaan seperti itu. Hampir semua kita, sekokoh apapun kepribadiannya, pasti akan mengalami situasi lemah dan merasa kekurangan tenaga. Memang demikianlah jiwa manusia, seperti yang pernah disabdakan Rasulullah SAW dalam salah satu hadits shahih, bahwa keimanan itu ada kalanya bertambah dan berkurang. Ia bertambah karena amal shalih, dan berkurang karena kemaksiatan.

Tapi ingat saudaraku,
Selama kita berusaha berada dalam kafilah ini, insya Allah kelemahan dan kekurangan kita tidak akan mampu menjatuhkan kita. Selama kita tetap komitmen bergerak dalam orbit komunitas jama'ah da'wah, insya Allah kita menerima banyak keistimewaan dan barakah. Selama kita tetap memelihara hubungan baik dengan kafilah da'wah, insya Allah semua kelalaian dan penyimpangan kita kemungkinan besar akan dapat diluruskan dan kembali kepada jalan yang benar. Kesimpulannya, kita baru akan jatuh terpuruk, tenggelam, dan terseret oleh arus yang lain, tatkala kita berada di luar arus atau orbit jama'ah da'wah.

Salah satu berkah hidup bersama orang-orang sholih adalah, mereka selalu mampu memberi nasihat dan pencerahan hati bagi orang yang duduk bersamanya. "Sebaik-baik sahabat adalah, orang yang bila engkau melihatnya, menjadi kamu mengingat Allah", Begitulah sabda Rasulullah SAW. Renungkanlah perkataan Rasulullah tersebut. Sekedar melihat seorang teman yang shalih akan memberi cahaya keshalihan yang berbeda dalam diri orang yang melihatnya.
Saudaraku para kafilah da'wah,
Melihat orang lain yang lebih tinggi kadar ibadah, zhuhud, jihad, dan ilmunya, pasti akan memberi pengaruh yang besar dalam diri kita. Merekalah yang akan mempengaruhi zhuhud kita, ibadah dan jihad kita. Karenanya, para sahabat generasi pertama disebut sebagai generasi istimewa, antara lain lantaran mereka senantiasa hidup bersama Rasululluh SAW. Ada orang salaf mengatakan, "Jika aku merasakan kekesatan hati, maka aku segera pergi dan melihat wajah Muhammad bin Wasi'" (Nuzhatul Fudhola, 1/526). Ibnul Mubarak juga  mengatakan, "Jika aku melihat wajah Fudhail bin Iyadh, aku biasanya menangis".

Itulah salah satu prinsip yang dipegang oleh orang-orang shalih terdahulu. Bagi mereka, bertemu dengan saudaranya adalah bekal spirit yang dapat membekali kebangkitan ruhani mereka. Dan memang demikianlah yang terjadi.

Simaklah kisah yang disampaikan oleh Ibnul Qosim, salah satu ulama fiqih di Mesir yang wafat tahun 191 H. "Aku pernah mendatangi Imam Malik sebelum waktu fajar. Aku tanyakan dia tentang dua masalah, tiga masalah, empat masalah, dan saya benar-benar melihatnya dalam suasana lapang. Kemudian aku mendatanginya hampir setiap waktu sahur. Terkadang karena lelah, mataku terkatuk dan aku tertidur. Ketika Imam Malik keluar Mesjid aku tidak mengetahuinya. Kemudian aku dibangunkan oleh pembantunya sambil mengatakan, "Gurumu tidak tertidur seperti kamu. Padahal saat ini usianya telah mencapai 49 tahun. Setahuku ia nyaris tidak shalat subuh dengan wudhu yang dipakai untuk shalat Isya'.". (Tartibul Madarik, 3/250)."

Saudaraku,
Apa yang terlintas dan terbetik dalam jiwa kita tatkala mendengar kisah di atas? Subhanallah. Riwayat-riwayat seperti itu banyak disampaikan dalam atsar, sehingga sulit bagi kita untuk tidak menerimanya sebagai suatu kebenaran. Disebutkan di sana, wudhu' Imam Malik tidak batal sepanjang malam, dalam rentang waktu hampir separuh abad. Kondisi seperti ini biasa dilakukan pada malam-malam musim panas. Artinya, Imam Malik rela untuk menyedikitkan makan dan minum sepanjang hari sehingga ia mampu memelihara wudhunya.

Salah satu salafus shalih bercerita,"Aku pernah bangun pada waktu sahur untuk mempelajari Al Qur'an kepada Ibnu Akhram, seorang ulama Damaskus. Tapi ternyata kehadiranku telah didahului oleh sekitar 30 orang. Dan aku belum memperoleh giliran sampai datang waktu ashar" (Nuzhatul Fudhola, 2/1145). Kebiasaan waktu itu, satu orang diberi giliran untuk mempelajari Al Qur'an sekitar 2 halaman. Lihatlah terhadap kesabarannya yang luar biasa untuk menanti giliran membaca 2 halaman Al Qur'an dari sebelum fajar hingga waktu ashar. Yang lebih mengherankan lagi, kedatangannya sebelum fajar telah didahului oleh kurang lebih 30 orang.

Saudaraku,
Membaca dan menelaah kehidupan orang-orang shalih juga mempu membangkitkan semangat baru dalam diri kita. Bisa dikatakan, membaca dan menelaah kehidupan mereka, hampir sama dengan kita menziarahi dan berhadapan dengan mereka sehingga kitapun menerima barokah dari Allah karenanya.

Karenanya Imam Abdul Jauzi Ra mengatakan, "Aku berlindung kepada Allah dari hidup orang yang tidak punya cita-cita tinggi hingga bisa diteladani oleh orang lain yang tidak punya sikap wara' yang bisa ditiru oleh orang yang ingin berzuhud. Demi Allah, hendaklah kalian mencermati peri laku suatu kaum, mendalami sifat dan berita tentang mereka. Karena dengan memperbanyak meneliti kitab-kitab mereka adalah sama dengan melihat mereka. Bila engkau mengatakan telah mendalami 20.000 jilid buku, berarti engkau telah melihat mereka melalui kajian engkau terhadap tingkat semangat mereka, kepandaian mereka, ibadah mereka, keistimewaan ilmu yang tidak pernah diketahui oleh orang yang membacanya........" (Qimatuz zaman ‘indal ‘ulama: 31).

Saudaraku,
Seringlah mengunjungi saudaramu dalam jalan ini. Jangan jauhkan mereka dari hati. Sering-seringlah berkunjung, bertatap muka, dan memandang wajah mereka. Di sanalah engkau akan menemui berkah hidup berjama'ah yang dapat memberi bekal bagi jiwa agar kita dapat melanjutkan perjalanan ini sampai tujuan terakhir ............ Ridho Allah dan Syurga-Nya.

( Dikutip dari : Muhammad Nursani - Tarbawi Edisi 10 Th. II )