Sabtu, 08 Oktober 2011

KAIFA NATA’AMAL MA ‘A DUNYA (BAGAIMANA KITA BERSIKAP TERHADAP DUNIA)?


Ikhwah Fillah…
Hadist berikut ini berupa arahan Nabi untuk  kita dalam meniti perjalanan hidup yang lika-liku, dan dipenuhi dengan onggak, batu, duri serta ditaburi dengan gemerlapnya dunia.
Dari Ibnu Umar ra, berkata “ Rasulullah memegang pundakku dan berkata: Jadilah engkau di Dunia ini seperti orang asing bahkan jadilah seperti seorang Musafir” (HR.Bukhari)
Hadits ini menerangkan kepada orang-orang beriman bagaimana seharusnya ia berinteraksi dengan dunia, ini merupakan arahan dari Rasul saw kepada Ibnu Umar dan kepada kita semua tentunya, yaitu hendaknya kita dalam menjalani kehidupan di dunia ini seperti seorang musafir, bukan saja seperti orang asing, karena bisa jadi orang asing  (pendatang) lebih betah dari pada penduduk asli, maka Rasul saw mempertegas hal tersebut dengan menyebutkan “ Bahkan jadilah seperti seorang musafir” Apa maksud dari hadist tersebut?
Ikhwah Fillah…
Maksud hadist tersebut, itu bisa dijelaskan dengan terlebih dahulu kita fahami apa itu makna musafir, dan apa saja yang dilakukan seorang musafir.
Musafir adalah orang yang melakukan perjalanan dari satu tempat ketempat lain, ada beberapa hal yang biasa dilakukan oleh seorang musafir.
1.       Seorang musafir pada umumnya jauh dari keluarga dan saudaranya, karenanya dia tidak akan ketergantungan dengan orang  lain, seorang musafir akan menyandarkan dan menggantungkan hidupnya hanya kepada Allah swt, berbeda dengan orang yang tinggal di kampungnya sendiri, biasanya hidup bersama dengan keluarga atau saudaranya, dan pada umumnya hidupnya selalu tergantung pada orang lain yaitu keluarga dan saudaranya. Jadi yang dimaksud hadist tersebut jadilah engkau seperti seorang musafir yaitu Agar kondisi hati kita selalu tergantung dan berharap hanya kepada Allah swt, tidak kepada yang lain. Bahkan memohon dan bergantung pada selain Allah yang disertai ketundukan termasuk dalam perbuatan Syirik (mensekutukan Allah)
2.       Seorang musafir dalam perjalanannya tidak membawa seluruh hartanya, kecuali yang ia perlukan dalam perjalanannya, dia tidak membawa perabotan rumahnya ,dia tidak membawa alat-alat tempat tidur dan perabot dapurnya. Bahkan ia tidak membawa seluruh pakaian dan bukunya. Karena apabila ia bawa itu semua akan menyebabkan ia tidak bisa melanjutkan perjalannya, atau paling tidak akan menghambat perjalannya. Begitu pula harusnya yang kita lakukan, hanya mengambil di dunia ini apa-apa yang bisa membantu kita dalam mencapai tujuan hidup kita, yaitu meraih ridho Allah SWT, dan harus meninggalkan hal-hal yang dapat menghambat keridhoan Allah.
3.       Seorang musafir tidak menjadikan jalan sebagai tujuan, akan tetapi sebagai sarana yang digunakan untuk mencapai tujuannya kesuatu tempat. Begitu pula kita seharusnya dalam berinteraksi dengan dunia, menjadikan dunia sebagai sebuah sarana untuk mencapai tujuan perjalanan kita yaitu bertemu dengan Allah SWT. Jangan menjadikan dunia sebagai tujuan, karena dunia bukan tempat akhir perjalan kita, cepat atau lambat dunia akan kita tinggalkan.
4.       Seorang musafir merasakan setiap langkah yang diayunkan dan setiap menit yang dilewatkan, telah menjauhkan dirinya dari titik awal ia berangkat  dan akan semakin mendekatkan dirinya ke titik akhir perjalanannya. Misalkan ia pergi dengan menggunakan kendaraan, dia merasakan telah melewati jarak sekian kilometer sehingga sisa perjalanannya tinggal  sekian kilometer lagi. Begitupula seharusnya yang kita rasakan, semakin bertambah usia, pada hakekatnya semakin berkurang sisa umur kita,  dan semakin mendekati titik akhir perjalanan hidup yaitu kematian. Maka kita harus selalu dalam kondisi siap apabila perjalanan hidup kita berakhir sampai disini. Inilah makna perkataan Ibnu Umar ra setelah dia menerima hadits tersebut “ Apabila kamu berada dipagi hari janganlah menunggu sampai sore hari, apabila kamu berada di sore hari janganlah menunggu sampai pagi hari, dan gunakanlah kesehatan mu untuk mempersiapkan menghadapi masa sakitmu dan gunakanlah kehidupanmu sebelum datangnya kematianmu”.
Dan dalam sebuah hadits Rasul saw pun menegaskan  “Gunakanlah yang lima sebelum datang yang lima lainnya, masa hidupmu sebelum datang matimu, masa sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, masa kayamu sebelum datang masa miskinmu, waktu luangmu sebelum datang waktu sibukmu,”
5.       Seorang Musafir ketika menempuh perjalanannya ia harus berhenti diterminal-terminal yang disitu ia mengisi perbekalannya, baik makanan maupun bahan bakar kendaraannya, kalau hal itu ia tidak lakukan maka ia tidak bisa melanjutkan perjalanannya. Begitu pula kita, harus selalu memenuhi diri dengan perbekalan agar kita dapat menempuh perjalanan ini sampai ketujuan. Dan perbekalan itu adalah Taqwa, Firman Allah “Berbekalanlah, sesungguhnya sebaik-baiknya bekal adalah Taqwa....” (QS: 2; 197).  Dan bekal itu bisa kita dapatkan dalam Majelis ilmu, dzikir, dan segala amal ibadah sebagai bentuk ketaatan kita pada Allah, juga setiap usaha untuk menjauhkan atas semua larangan Allah. Tabiat perjalanan seorang manusia tak ubahnya seperti perjalanan seorang musafir yang tidak akan pernah sepi dari problematika, misalnya berupa cuaca yang kurang bersahabat, atau kendaraan yang rusak atau tubuh yang keletihan bahkan mungkin sakit. Begitu pula orang beriman, di dunia ini pasti akan menghadapi berbagai macam ujian dan problema, terlebih orang yang berjalan menuju keridhoan Allah swt. Rasulullah dalam sebuah hadits mengungkapkan “ Jalan menuju ke neraka akan dihiasi dengan syahwat (Kenikmatan yang menipu) sebaliknya jalan menuju ke syurga akan dihiasi dengan Makarih (Hal-hal yang tidak menyenangkan). (HR.Bukhari).
Demikian Ikhwah Fillah… Semoga Allah senantiasa membimbing kita dalam meniti jalan kehidupan ini, agar kita tetap dalam koridor jalan yang lurus, dan segala onggak, batu, duri atau rintangan yang lainnya, tidak membuat kita tergelincir dalam jurang kehancuran, Problem dan ujian seberat apapun bila kita hadapi dengan tetap istiqomah dijalan Allah dan mengharap petunjuk serta bantuan Nya, Insya Allah semua akan ada jalan keluarnya. Allah berfirman “Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (QS: 94 ; 6 )
Tetap semangat dalam meraih Mardhotillah…

Rabu, 05 Oktober 2011

MENGENDALIKAN LINTASAN PIKIRAN


Ikhwahfillah..
Kali ini, mari kita telusuri butir-butir nasihat yang dituangkan begitu indah oleh Imam Ibnul Qayyim Al Jauzi rahimahullah . Salah satunya, tentang asal usul perbuatan seseorang yang berpangkal pada khatirah (lintasan pikiran). Semua prilaku manusia, menurutnya, selalu berasal dari lintasan pikiran, yang pada akhirnya mengantarkan seseorang pada tahapan amal atau praktik.
Bicara tentang lintasan pikiran menjadi sangat penting, karena tak satupun manusia yang bisa terlepas dari lintasan pikiran. Ia muncul begitu saja, dan menjadi salah satu fitrah manusia pemilik panca indera. Kita, tidak mungkin berada dalam situasi tak  memiliki lintasan pikiran. Lintasan pikiran itu tersembunyi. Lebih tersembunyi dari sikap hasad, dengki, dan semacamnya. Ia ada dalam alam pikiran dan berwujud lintasan-lintasan belaka, akan tetapi  Allah swt Maha Mengetahui atas apa yang ada dalam pikiran kita.

Ibnul Qayyim membagi tiga kategori lintasan pikiran; khatirah rahmaniyah, syaithaniyah dan nafsaniyah. Khatirah rahmaniyah adalah seluruh lintasan pikiran yang berisi kebaikan dan hal-hal utama. Seperti menuntut ilmu, amar ma ’ruf dan nahi mungkar, shadaqah dan lainnya. Khatirah syaithaniyah adalah lintasan pikiran syaitan yang isinya selalu kekejian dan kemungkaran belaka. Sedangkan nafsaniyah, adalah lintasan pikiran yang terjadi saat seseorang bermimpi.

Perhatikanlah ungkapan Ibnul Qayyim, “Lintasan-lintasan itu memang kompleks karena dia berada dalam ruang kebaikan atau keburukan. Dari lintasan pikiran (khatirah) itu lahir keinginan (iradah), lalu himmah (kecenderungan), dan azimah (tekad). Orang yang sejak awal mampu mengendalikan lintasan pikirannya, berarti ia mampu mengendalikan jiwa dan menundukkan hawa nafsunya. Tapi orang yang dikendalikan oleh lintasan pikirannya, berarti jiwa dan nafsunya yang lebih kuat. Siapapun yang menganggap enteng lintasan pikiran, niscaya lintasan pikiran itu akan menyeretnya pada kehancuran...”

Dalam kitab yang lain, Ibnul Qayyim mengatakan, “Buanglah lintasan pikiran syaithaniyah. Jika tidak engkau buang, ia akan menjadi fikrah. Buanglah fikrah itu. Jika tidak engkau buang,ia menjadi himmah. Buanglah himmah itu, jika tidak engkau buang ia akan menjadi amal prilaku. Buanglah prilaku itu, jika engkau tidak melakukannya ia akan menjadi kebiasaan.”
Ikhwahfillah…
Seperti itulah asal muasal perilaku jahat, ia  bermula pada lintasan pikiran. Bersyukurlah kepada Allah swt atas kekuatan bashirah yang diberikan kepada Ibnul Qayyim. Karena Ibnul Qayyim bukan hanya menyampaikan hal penting dan mendesaknya kita mengetahui tahapan-tahapan itu, tapi ia pun lalu mengajarkan pada kita cara untuk menghempas lintasan pikiran negatif itu,
Ada 3 langkah untuk menghilangkan pikiran negatif. “
Pertama, kosongkan hati dari lintasan pikiran buruk dengan tidak mendekati sesuatu yang dapat memancingnya.
Kedua, jika hati telah kosong dari keburukan itu, hati harus diisi dengan kesibukkan akan ketaatan dan kecintaan pada Allah.”
Cara mengisi hati dan menyibukkan diri di sini ada lima cara. Pertama, pikirkan ayat-ayat Allah berupa Al Quran dan pahami maksud tujuannya. Kedua, berpikirlah tentang ayat-ayatnya yang terlihat dan ambillah pelajaran darinya dikaitkan dengan nama dan sifat-Nya. Ketiga, berpikirlah tentang ketinggian, kebaikan, kemurahan Allah kepada makhluk-Nya meliputi seluruh nikmat, kasih sayang dan ampunan-Nya yang sangat luas. Keempat, berpikirlah tentang kekurangan dan aib diri sendiri, serta atas kekurangan kita dalam beramal. Kelima, berpikirlah tentang kewajiban kita  terkait urusan dunia maupun agama.
ketiga, adalah dengan menjaga lintasan hati dari yang haram dan yang keliru. Ini dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, mengetahui sumber-sumber yang dapat memancing yang haram dan tempat-tempat yang sensitif menyeret pada yang kesalahan. Kedua, membandingkan dan menimbang serta mengetahui akibat yang muncul dari kekeliruan yang ada dalam lintasan pikiran, ini, adalah pekerjaan akal. Ibnul Qayyim lalu ,mengajak kita membandingkan antara dua keadaan. Katanya, “Bandingkan antara kelezatan mendekatkan diri kepada Allah dengan mendekatkan pada kekotoran. Bandingkan antara kelezatan dosa dengan kelezatan hati yang memelihara diri dari dosa.
Ikhwahfillah semoga Allah membimbing kita semua agar selalu ada dalam Ridho Nya (Mardhotillah)

Senin, 03 Oktober 2011

AGAR KESALAHAN DAPAT MEMBUKA PINTU KEBAIKAN


Saudaraku,
Siapa di antara kita yang kuat menahan malu, andai kita tahu daftar kesalahan, kedurhakaan, kemaksiatan, dan pelanggaran yang kita lakukan? Siapa di antara kita yang mampu menahan rasa hina yang tiada tara, jika saja kita mengetahui catatan perilaku buruk dan dosa yang telah kita lakukan? Hidup yang sudah kita lalui singkat, sampai seusia ini, siapa yang kuat menahan penyesalan akibat keburukan dan dosa yang kerap kita lakukan berulang-ulang?

Mari perbanyak istighfar dan permohonan ampun pada Allah swt. Rasulullah menggambarkan, sebuah dosa seperti noda hitam di dalam hati. Kian banyak noda hitam itu, maka hati menjadi hitam legam, kelam. Sinarnya bukan hanya redup, tapi gelap. Cahayanya tertutup oleh titik-titik noda yang menjadikannya tak mampu lagi memandang dan menimbang mana yang benar dan mana yang salah.
“Bila seseorang melepaskan diri dari dosa, beristighfar dan bertaubat, hatinya akan cemerlang seperti semula. Dan bila ia mengulangi perbuatan dosa maka noda hitam itu akan bertambah hingga meliputi hatinya. Allah swt berfirman, “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka.” (HR. Turmudzi).

Mirip dengan hadits dan firman Allah tadi, Hasan Al Bashri menyebutkan bahwa ketaatan itu identik dengan cahaya batin dan kekuatan fisik. “Kebaikan itu memberi cahaya dalam hati, melahirkan kekuatan bagi tubuh. Sementara keburukan akan menggelapkan hati dan melemahkan tubuh, serta mempengaruhi terhadap rezeki,” ujar Hasan Al Bashri. Ia kemudian mengutip sebuah sabda Rasulullah saw, “Seseorang dihalangi rezekinya karena dosa yang ia lakukan.” (HR. Ibnu Majah).

Saudaraku, kemaksiatan bukan akhir dari segalanya. Melakukan dosa tak berarti membuat pelakunya jatuh dan tak mampu bangkit kembali. Inti pesan yang ingin disampaikan dalam hadits dan perkataan Hasan Al Bashri tadi adalah , ajakan untuk mengulang-ulang dan memperbaharui taubat. Imam Ibnul Qayyim pernah menguraikan panjang, betapa kesalahan dan dosa yuang diperbuat oleh Nabiyullah Adam as hingga ia diturunkan dari surga ke bumi, ternyata membuka banyak hikmah dan karunia Allah kepada Adam dan keturunannya. Dalam kitab Al Fawaid, Ibnul Qayyim menulis bahwa syaitan yang dengki gembira dengan jatuhnya Adam dan Hawa ke lembah dosa dan terpeleset dari surga. Tapi sesunggguhnya keluarnya Adam dan Hawa dari surga menyebabkan ia melahirkan banyak karunia Allah kepada manusia karena kemudian lahir anak cucu yang kelak menjadi khalifah di muka bumi. Bahkan ada hadits Rasulullah yang menyebutkan, “Dan demi dzat yang di diriku ada  dalam kekuasaan-Nya, jika kalian tak melakukan dosa, niscaya Allah akan melenyapkan kalian lalu akan mendatangkan kaum lain yang akan berdosa, kemudian mereka bertaubat dan Allah menerima taubat mereka.” (HR. Muslim)
Ibnul Qayyim setelah itu, memberi komentar sangat indah bahwa ketika Adam dikeluarkan dari surga karena kesalahannya, tidak berarti Allah tidak memperdulikannya. Allah tetap memelihara keturunan Adam dan anak cucunya. Karena selanjutnya Allah pun tetap menjadikan surga untuk Adam dan anak cucunya yang beriman dan taat kepada Allah swt, selama-lamanya. Jadi, dikeluarkannya Adam dari surga seolah hanya sementara waktu untuk menyempurnakan bangunan surga itu sendiri. Sama seperti manusia yang ingin melakukan renovasi tempat tinggal lalu ia harus keluar dari rumah itu sementara dan kembali lagi. Tulis Ibnul Qayyim rahimahullah.
Ibnul Qayyim juga menggaris bawahi bahwa meski dengan segala keutamaan yang Allah berikan kepada Adam, tapi Adam tetap menyadari dan kembali kepada Allah, memohon ampun terhadap kemaksiatan yang dilakukannya. Karena itulah, Nabiyullah Adam as, yang disebutkan dalam Al Qur’an berbunyi, “Robbana Zholamna anfusana wa illamtaghfirlana watarhamna lana kunanna minal khoshirin" (Ya Rabb kami, kami telah mendzalimi diri kami sendiri dan jika Engkau tidak memberi ampun kepada diri kami niscaya kami menjadi orang-orang yang merugi). Kesalahan telah membuat Adam merasakan kedekatan dan ketergantungan luar biasa kepada Allah swt.

Demikianlah. Kemaksiatan dan dosa, ternyata bisa saja menjadi pintu kebaikan bagi pelakunya. Syaratnya hanya satu, yakni perbaharui taubat. 
Pintu kebaikan akan datang dengan meninggalkan kemaksiatan,  menyesali dosa, memperbaharui taubat, dan tidak  membiarkan diri hanyut dalam nikmatnya ayunan kesalahan. Ingat saudaraku, jika kita ikhlas, Allah pasti akan menggantikan kenikmatan dosa yang kita tinggalkan dengan kenikmatan yang lebih indah di dunia, terlebih di akhirat. Dengarkanlah perkataan yang diucapkan  Ibnu Sirin, seorang tokoh ulama di zaman Tabi’in yang terkenal memiliki kepekaan spiritual di zamannya. Ia mengatakan, “Tidak ada seorang pun yang meninggalkan suatu keburukan yang ia rasakan nikmat, hanya karena Allah, kecuali ia pasti akan menemukan gantinya dari Allah swt…”
 Atau perhatikanlah sabda Rasulullah saw,  “Barang siapa yang memalingkan pandangan dari sesuatu yang haram, maka Allah akan berikan satu titik cahaya dalam hatinya…”
 Semoga Allah menerima Taubat kita dan membimbing kita menjadi orang yang istiqomah dalam kebaikan. Amiiin...